Cerita Kita


Waktu berlalu begitu cepat. Hari ini hampir berakhir. Wajah bumi mulai menua kelam. Perlahan mentari merapat di balik bebukitan kampung Boru Tanah Bojang*, sementara bayang-bayang hitam merebah perlahan dalam diam, seakan menggulung pergi berkas-berkas cerita hari ini. Kini, bulan pun tersenyum menyambut malam. Hari ini berakhir di pembaringan. Memang begitulah ritme perjalanan manusia; terus mengalir. Ada suka, ada duka yang terpahat sebagai realitas. Itulah kenyataan hidup yang sebenarnya. Kenyataan yang tidak akan terlepas dari lingkaran hidup manusia. Hidup sungguh mengikat manusia dalam nasib dan sejarah, hingga tanya pun tercipta di penghujung malam ini; “Ke mana kita akan mencari pijakan yang pasti ?”

“Yohan, aku hanya ingin tahu jawaban manusia atas  realitas. Mungkin kamu lebih tahu jawaban itu, apalagi kamu adalah calon imam, masa depan gereja, bangsa dan negara. Perjuanganmu untuk mencapai imamat sungguh menampilkan kesungguhan radikal yang sulit diubah. Inilah rumahku, Yohan. Menyedihkan; tapi betapa dahsyatnya kedamaian yang terangkai di dalamnya. Itulah keindahan yang terlukis sebagai warna hidup bagi kami yang menghuninya. Rumah beratapkan alang-alang, berdinding bambu, tapi ini luar biasa dan bukan biasa-biasa saja,” ungkap Mikho. Sebagai sahabat yang telah lama berjalan bersama walau jalan kita berbeda, aku ingin mengungkapkan lebih jauh tentang kerinduanku yang sudah lama terpendam. Aku akan merasa puas ketika aku sudah membongkar semua kerinduanku ini sebagai  satu kecemasanku. Yohan akan mengerti situasi orang kampung. Yohan berasal dari Kupang, Sebuah kota dengan begitu banyak keindahannya apalagi keluargamu boleh kusebut ‘kaum elite’. Jika dibandingkan dengan orang-orang kampungku; kamu punya lebih banyak sedangkan kami berusaha untuk mempunyai lebih dan menjadi lebih dari keterbatasan yang kami miliki.

Yohan hanya terdiam seribu kata tanpa sedikit suara untuk meramaikan percakapan antara keduanya. Dengan bahasa tubuh, Yohan memberikan waktu kepada Mikho untuk menceritakan lebih jauh tentang  keadaannya. Hidup ini keras. Ada begitu banyak orang yang berjuang keras  memecahkan kerasnya hidup dan berusaha mencari maknanya, tapi selamanya makna yang dicari hanyalah keterpurukan. Akhir-akhir ini, kematian menjadi hangat di telinga setiap orang. Penyebab kematian itu tentunya aku tahu, tapi sungguh bosan bila kuceritakan. Mungkin, Yohan sudah membaca berita ini di surat kabar kemarin dulu. Aku hanya mendengar bahwa kematian itu  segera akan merampas hidup orang-orang kampung. Mereka yang berada  di desa-desa kecil di Timor, semakin hari semakin rajin dan pintar mengais ubi dan asam untuk bertahan hidup. Dan aku justru tidak sadar bahwa kampungku yang boleh kusebut sebagai Ban-Dung penghasil komoditi atau Bawalatang-Duang* dengan hasil utama kopra, coklat, kemiri dan hasil-hasil tanaman lainnya pun mulai mengalami nasib yang sama. Hal  ini sangat  menakutkan dan  Yohan  tahu bahwa malam ini adalah malam ketiga atas kepergian adikku Yandro. Kedua sahabat lama itu hanya memandang keluar jendela. Diam seakan membius keduanya dalam beberapa menit; sepi dan dinginnya malam itu seakan membuat keduanya gelisah, tapi sebungkus filter sungguh memberanikan mereka untuk bertahan mengarungi pekatnya malam itu.

”Mikho, suatu keadaan dengan beribu macam tantangannya saat ini harus kita sikapi dengan keberanian. Berani menangkis buruknya sebuah peristiwa dan bukannya mengalah pada keadaan saat ini,” Yohan membuka mulut; baru kali ini dia berbicara. Nampak, ia juga ingin sekali membuka mulut untuk lebih banyak lagi merangkai kata, tapi entah mengapa ia hanya memilih diam. Mungkin udara di luar rumah yang cukup dingin itu, begitupun di dalam rumah, tapi dingin buat keduanya bukanlah apa-apa. ”Mampu bertahan demi memerangi gelapnya malam hingga pagi menyapa ?” Mikho menawarkan dengan pasti. Tiada penolakan dari Yohan. Dalam hembusan angin  malam itu, Mikho pun mulai bercerita lebih dalam. Keduanya bertolak lebih jauh; bertolak menapak malam; menapak cerita pengalaman masing-masing. “Yohan, orang dari kampung tetangga meninggal kemarin dulu karena jatuh motor;  ada lagi yang lain, kakak membunuh adik  lantaran berebutan pisang masak saat mengumpulkan kayu bakar. Memang lucu kedengarannya tapi itulah realitas yang terjadi di kampung. Ya…, semuanya terjadi di tanah ini; perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, peras-memeras, suap, selingkuh dan masih ada yang lain. Ah….aku takut, Yohan. Aku takut mati. Sekarang aku masih sangat muda dan aku mau hidup seribu tahun lagi. Aku mau menandingi Cahiril Anwar yang mau hidup seribu tahun lagi sebagai yang muda, semangat dan punya suara lantang. Tapi saat ini aku justru kalah dan rasanya kematian akan segera menjemputku. Aku takut akan semua kejadian di tanah ini bisa menjadi lumpur lapindo yang mematikan dan memusanahkan hidup kami.”

“Cukuplah Mikho! Hentikan ceritamu sejenak. Seharusnya kamu lebih tenang. Kamu bukan seperti laba-laba yang membangun sarangnya di bawah mimbar dan selalu merasa terancam ketika sarangnya digusur oleh Si Koster. Hehehehe……, barangkali kamu harus lebih berani bersuara dengan lantang. Apakah kamu takut mati? Kalau Mikho merasa ingin mati muda, biarlah aku yang melamar diri untuk membunuh Mikho, tapi maaf, aku bukan seorang pembunuh.” “Hmmm….,kalau Yohan mau jadi pembunuh, sebaiknya kamu meneror orang-orang kampung. Mereka kurang berpendidikan. Kalau  Yohan mampu, ya  Yohan sendiri bisa dijuluki pembunuh gelap atas Si Munir pejuang HAM itu,” Mikho bergurau. Yohan semakin semangat sembari menyambung lagi komentarnya, “Ya…aku harap semangat Si Munir bisa menjadi semangat kamu. Kamu pejuang HAM yang cukup disegani di NTT. Bekerja dalam sebuah lembaga kemasyarakatan. Itu berarti kamu harus  berjuang untuk rakyat yang lemah dan menyuarakan keterbatasan suara mereka. Kamu memiliki fasilitator lapangan yang senantiasa turut merasakan jeritan kaum miskin papa, dekat dengan kaum marginal dan harus sering larut dalam getaran batin kaum tertindas. Kamu telah menjadi pemimpin bagi kami dan aku hanyalah sahabat lamamu. Dulu kita seseminari di Hokeng, tapi sekarang kau sudah jadi orang, jadi manusia yang jauh lebih baik. Aku hanya minta bahwa menjadi pemimpin berarti mampu merasakan susah dan senangnya rakyat. Sekarang  memang duka derita lebih banyak digenggam oleh rakyat kecil; rawan pangan, jalan raya yang kurang diperhatikan. Aduh MIkho, aku jadi turut prihatin atas bencana di tanah ini. Kita…..,menyedihkan!!”

Mikho tersentak kaget. Ia tampak sendu menatap  Yohan. Kebisuan kembali terangkai jadi monumen penghias cerita di penghujung malam yang semakin menua menjemput mentari pagi. Jawaban  tepat  atas realitas pun terurai di jantung malam Minggu itu. Malam yang masih dirinai duka dalam seribu tanya. ”Memang benar bahwa hidup adalah suatu pertanggungjawaban. Berani menjadi pemimpin berarti berani merasakan pahit getirnya cerita tentang hidup dan cerita kita tidak akan berakhir di sini. Cerita kita akan terus terangkai dalam berkat dan beban, tapi justru menjadi senyuman paling indah yang  terberi sebagai hadiah dari-Nya,” ungkap  Yohan di jantung malam itu saat keduanya beranjak ke pembaringan yang sudah sejak tadi dirindukan.*

Saat hidup menjadi kering karena duka derita atas manusia

St. Mikael-Ledalero, Oktober 2011

*Kampung Boru Tanah Bojang: Ibukota Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur.

*Ban-Dung atau Bawalatang-Duang: Dua lewo atau kampung di bawa kaki Gunung Lewotobi. Letaknya 4 Km dari Boru.

Dimuat di Pos Kupang, 14 Juli 2013

 

Ada Dalam Kata


Engkau masih saja berkata-kata sampai sekarang. Kemarin aku melihat kau duduk di sudut kamar, mengambil sebatang rokok, menyalakan korek api, lalu membakar rokok itu. Kau tampak santai sembari menarik dalam-dalam asap dan menghembuskannya dengan lebih nikmat. Nikmat sekali. Aku justru menjadi penikmat seni pada senja kemarin itu. Memang seni sekali mengamati sosok dirimu sebagai seorang seniman. Aku menyebut kau orang seniman, tapi aku memanggilmu hanya dengan satu nama yaitu Kata. Nama itu yang menurut aku begitu unik dan karenanya aku merasa bangga. Itu nama yang bagiku paling sejati.

Aku mencoba memahami namamu dan menyusuri kembali setiap jejak yang membekas dalam kenangan. Sejak berada di Seminari Hokeng, aku mengerti satu hal mengenai dirimu. Engkau adalah Kata. Banyak teman seperjuangan yang menilai bahwa kau orang gila. Kebanyakan dari mereka yang mengumpat namamu, tapi aku sendiri bahkan mengagung-agungkan nama itu. Engkau tetaplah Kata. Kata yang jujur, polos dan rendah hati. Kata yang selalu merangkai kata-kata menjadi kalimat-kalimat indah untuk dibaca, direnungkan, dan dikenang sampai kekal.

“Ada apa denganmu, Kata?” tanyaku.

Setiap kali aku bertanya dalam hati tentang namamu, akhirnya aku paham bahwa kata itu adalah daging. Itulah dirimu. Bermula dari kata terlahir engkau yang unik bahkan misterius.

Dan karena kau unik dan misterius, saat ini semua orang merindukan namamu. Mereka rindu mendengar lagi kicau-kicau suaramu. Rindu membaca setiap kata-kata yang kau rangkai jadi kalimat-kalimat di setiap koran-koran kota. Kata-kata yang mampu menghentikan bumi. Begitu dahsyat kata-katamu. Memang kau bernama Kata yang selalu memberi arti bagi orang-orang kalah di kota ini.

“Bagaimana kau lahir, Kata?” tanyaku lagi.

Kau pernah bercerita padaku tentang saat-saat kelahiranmu. Ibu melahirkan kau dengan kesakitan yang panjang. Ibu menunggu kau datang pada bulan kesembilan dan berharap kau tiba lalu menatap dunia yang penuh kebobrokan ini dengan tangisan. Menangis secara alamiah. Itu kebenaran yang tak bisa disangkal. Tapi, kau berbeda. Kau lahir tanpa tangisan. Ibu merasa asing. Mengapa kau mengawali hidupmu dengan diam. Kelahiran yang benar-benar diam. Kau diam dan ibu pun diam. Akhirnya semua pun turut diam.

Harapan ibu meleset. Kau lahir membawa satu kata. Diam. Ya, diam. Semua orang menjadi diam. Entah mengapa semuanya diam; sudah kutebak bahwa kau memang lahir dari kata. Kata yang hidup di setiap mata yang melihat dan telinga mereka yang ingin mendengarkan kau bersuara serupa kicau pipit-pipit menunggu mentari menghalau embun pagi.

“Sebenarnya kau diam, tapi dalam diammu kau berkicau. Kau berkicau-kicau sampai semua orang diam dan mengerti bahwa kau adalah seorang yang bukan pendiam.” Kataku dalam hati.

Tanpa aku sadari di sekelilingku tampak gelap. Ah, waktu berlalu begitu cepat. Kemarin sudah berganti hari ini, Sabtu yang dirindukan. Dan aku masih mengenangmu dalam ingatan ini. Di kamar sepi ini, aku berada dalam kata. Kata-kata yang tampak berperang, berpagutan, dan bercumbuan dalam otakku yang sempit. Aku pun terperangkap dalam ingatan. Ingatan yang selalu membawa aku mengenangmu dengan satu nama saja. Kau adalah Kata. Sekali menjadi Kata, namamu tetaplah Kata. Kata yang selalu hidup di hati mereka yang mencintaimu.

“Bukankah kau mau supaya aku menceritakan semua tentang namamu, Kata?” perasaanku mendesak aku untuk selalu berbicara tentang namamu.

Sejauh ini, kita adalah sahabat. Aku tahu siapa kau dan kau tahu siapa aku. Selalu ada rotasi. Kita berjalan bersama sejak perjumpaan di rumah pesemaian itu. Rumah itu adalah kata. Awalnya kau menanam asa dan memetik kata-kata yang semakin merdu di setiap langkahmu. Rumah itu telah mengandung kau menjadi seorang yang pandai berkata-kata. Rumah itu ibumu yang melahirkan dirimu yang unik dan misterius itu.

“Masihkah kau mengingatnya dalam lubuk hati yang terdalam?” tanyaku lagi dan lagi.

Pernah kau berkata bahwa rumah itu membuatmu jeli menatap kesedihan orang-orang kalah. Aku berharap katamu tidak salah. Satu keyakinanku, kau selalu ingin merasakan pahit dan manisnya hidup yang sedang mereka alami. Waktu itu, kau tampak sedih. Aku melihat kau duduk di sudut kamarmu, mengambil pensil, lalu mencoret-coret buku harianmu.

Aku tahu apa yang kau lukiskan di atas kertas putih itu. Sudah pasti kau merangkai kata menjadi kalimat-kalimat merdu dalam bait-bait dan rima puisi yang indah. Itu aktivitas harianmu; merangkai kata demi kata. Dirimu, selalu ada kata untuk berkata-kata. Sungguh unik, serentak misterius. Aku selalu membilang kau begitu. Sampai kapan pun, kau akan kupanggil dengan nama “Kata”.

Di sini, aku sendiri masih mengenangmu dalam ingatan ini. Malam Minggu adalah malam yang panjang. Dan aku harus mengarungi kepekatan malam ini sembari bergulat dengan kata-kata. Serupa dirimu yang hidup dalam kata, aku pun begitu. Aku haus kata, aku lapar akan kata-kata. Lalu semuanya bermuara pada kesibukan melukis kata di atas kertas putih. Hasilnya, dunia melihat kita berbicara lewat koran-koran kota.

“Kita harus terus menari dalam kata?” desakku.

“Ah, sepertinya aku gila, sendiri berbicara dengan angin malam. Hehehe…” gumamku.

“Kata, kau harus menjadi dirimu. Teruslah mecoret-coret buku harianmu itu. Kau sudah menjadi penyair di kota ini. Semua orang merindukan kau mengunjungi mereka berkali-kali di setiap koran-koran yang singgah di tengah-tengah mereka. Suara mereka dibungkam, dan kau harus terus ada dalam kata. Mereka rindu kata-katamu yang merdu untuk membongkar kebobrokan penguasa di tanah ini….” ku berteriak keras. Tak peduli apakah itu mengganggu jam tidur para tetangga atau tidak.

“Begitulah aku. Malam minggu itu membuatku gila. Aku benar-benar menjadi orang gila. Panggil saja aku orang gila” kumengoceh sendirian.

Sesekali aku diam. Aku mencoba menyingkirkan semua kata-kata yang selalu bertukar-tangkap dalam otak sempitku. Namun, tidak ada hasil. Semakin aku diam, kata-kata terus mengalir.

Giliranku dibujuk oleh kata-kata. Dia, seorang yang kusebut dengan nama “Kata” itu, kini menarik aku untuk berkaca pada sosoknya. Aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada kata-katanya yang tajam dan penuh makna. Aku ada dalam kata. Membayangkan sosok “Kata”, aku pun terhipnotis di dalam indahnya imajinasi yang membakar asaku.

“Kaukah kata itu?” kuselidiki keheningan malam itu.

Semakin larut. Malam ini semakin menepi. Aku terpenjara dalam ingatan tentang sahabat baikku. Sebenarnya dia biasa dipanggil Hans. Seorang yang pemalu dan pendiam. Tapi, aku bangga ketika dia terus menari dalam kata-kata. Aku rindu kata-katanya. Aku rindu mendengar kicau suaranya di hari Minggu dalam ruang imajinasi koran milik tanah ini. Kemudian, aku menuangkan sepotong ide dalam buku harianku. Aku menulis kata-kata ini untuknya.

Untuk Kata

Bermula dari kata. Serupa kata engkau, lahir dari huruf ibu, membidikan diam terurai merdu kata-kata. Ku sebut engkau baris dan rima puisi. Berjejal-jejal intuisi. Lalu hati membakar pesi puisi: Engkau ada, sungguh!” kataku. Meyakinkan.

“Bukankah kau mau aku berhenti ada dalam kata” tanyaku dalam hati.

Begitulah mulanya aku jatuh cinta pada Kata. Di sini, sisa-sisa bayangannya terus mengendap di balik kaca jendela. Dia membuatku memahami bahwa kata itu mahal, dan sebaiknya aku pun hidup dalam kata. Dan setelah itu, kami lebih memilih sembunyi dalam diam, mencoba memetik kata-kata  di persimpangan hidup yang keras dari waktu ke waktu.


Nita Pleat, 04 Juni 2013

Dimuat di Jurnal Sastra Santarang