Oleh: Eto Kwuta
Pegiat Teater Evergrande Syuradikara Ende
Tidak ada penulis yang selalu benar dalam menulis. Begitu pula teater Tungku Haram karya Yohan Wadu. Beliau adalah seorang pastor dalam kongregasi SVD (Societas Verbi Divini) atau lebih dikenal dengan Serikat Sabda Allah. Pater Yohan Wadu, SVD adalah seorang pastor yang berteater. Tungku Haram merupakan judul keenam jika dilihat dari Allah Sudah Mati yang ditulisnya sejak masih berada di Ledalero, Maumere.
Masa-masa itu, Yohan Wadu masih berstatus sebagai seorang frater dalam SVD yang sudah menonjolkan spiritualitasnya terhadap seni teater. Pater Paulus Budi Kleden, SVD, sekarang menjabat sebagai Superior General SVD sejagad adalah sosok yang mendukung Pater Yohan ketika menjadi ketua Aletheia Ledalero pada masanya. Dalam proses menulis, menghasilkan, dan mementaskan teater, Yohan Wadu belum mengabadikan semua naskahnya dalam bentuk buku, tetapi selalu mementaskannya.
Kegeniusannya sudah terbukti sejak beliau mementaskan Allah sudah Mati (2005), Versus 1, 2, dan 3 (2011), Separuh Nafas (2012), Patah (2013), Kursi Retak 1 dan 2 (2015), dan terakhir Tungku Haram 3 di Kupang yang berhasil menghipnotis penonton pada Jumat, 27 Juli 2018. Ada banyak kritik terhadap karyanya dan pementasan demi pementasan pun tidak pernah luput dari kritik. Jika dihitung sejak Allah Sudah Mati sampai Tungku Haram 3, maka Yohan Wadu telah naik panggung sebanyak 11 kali. Lebih jauh, apresiasi atas karyanya dan pementasan yang unik dan besar ini bukan hal yang asing, tetapi sepatutnya ada.
Bayangkan, bila Saman Ayu Utami yang sempat fenomenal dianggap epigon gaya menulis Goenawan Mohammad, atau Supernova Dewi Lestari dipandang miring oleh sebagian pembaca sebagai novel copy dan paste dengan nuansa sastra wanginya, begitu juga dengan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang melampaui rekor Ayat-ayat Cinta dan Saman (Sainul Hermawan, 2009:103), maka Yohan Wadu bukanlah apa-apa. Tetapi, yang tidak ada apa-apanya ini, justru menjadi sangat problematis dan membongkar eksistensi di kalangan para kritikus, seniman pegiat teater, penulis, penikmat seni, dan bahkan ibu rumah tangga, penjual jagung, petani ladang, dan anak-anak-anak di bangku SD dan SMA pun berani mengomentari pementasan Tungku Haram 3.
Kalau mau dibilang secara jujur, banyak yang mengkritik pementasan Tungku Haram sejak pertama kali di Ende (10 November 2017), kedua kali di Labuan Bajo (14 April 2018), dan ketiga kali di Kupang (27 Juli 2018). Kritikan yang datang dari banyak pihak diikuti dengan apresiasi. Kritikan muncul karena seni teater tidak bebas kritik dan apresiasi datang karena sebuah pementasan yang berbeda, unik, dan khas.
Betapa banyak penulis karya sastra dan seniman pegiat teater yang mengabadikan hampir sebagian besar hidupnya untuk kegiatan menulis dan teater: menulis puisi, cerpen, novel, menulis naskah teater dan mementaskannya, bahkan terlibat intens dalam kegiatan diskusi, perlombaan, menjadi juri dari satu kota ke kota lain, diundang untuk membawakan makalah kritik sastra dalam berbagai level. Tetapi, karya mereka di hadapan pembaca pada umumnya jadi biasa-biasa saja. Sementara, ada segelintir penulis dan seniman teater yang belum terdengar namanya, seketika menggemparkan jagad buku dan teater di Indonesia.
Ini fenomena kejutan dalam dunia sastra dan teater Indonesia. Jika J.K. Rowling dengan aliran sastra fantasinya tiba-tiba melejit namanya karena Harry Potter, maka Yohan Wadu bukan siapa-siapa. Beliau adalah seorang imam atau pastor yang berteater dan berhasil ditampar dengan kritikan yang manis serentak pedas. Namun, ini adalah sebuah dinamika berteater yang diinginkan oleh Beliau. Mengapa demikian?
Dalam konteks umat atau masyarakat NTT, pastor yang berteater itu jarang. Kalau Romo Mangun tampak begitu mencintai pinggiran kali Kode dan menulis roman terkenal, maka Yohan Wadu sangat mencintai teater dan berani mementaskan ini dengan membaca berbagai konskuensi yang bakal terjadi. Maka, ketika kritikan datang dari banyak kalangan penikmat teater, seniman pegiat teater, dan bahkan umat atau masyarakat itu sendiri, maka ini merupakan realitas murni yang menampilkan interaksi sosial religius dari altar ke pasar.
Altar ke Pasar: Imam versus Umat Pengkritik
Pastor berhadapan dengan umat pengkritik adalah sebuah ruang perjumpaan yang natural dan tidak bisa disangkal, maka ketika ada banyak kritikan yang mengapresiasi serentak menampilkan umpatan-umpatan, maka dinamika seni dari altar ke pasar membawa dampak edukatif yang besar.
Hemat saya, ini normal karena seni memberikan pesan moral dan membawa misi kemanusiaan yang luas dan tanggung jawab moral yang besar. Apalagi, Kelompok Teater Evergrande Syuradikara memilih anak-anak SMAK Swasta Katolik Syuradikara dan SMK Swasta Katolik Syuradikara sebagai subyek yang memerankan penokohan dalam setiap adegan demi adegan di dalam Tungku Haram ini.
Dalam warna dasar Tungku Haram, para pelakon adalah subyek yang membawa pesan moral mengenai stop bajual orang. Jadi, misi utama dalam teater ini ialah soal mewartakan nilai kemanusiaan yang semakin terkuras di era modernitas dengan meluasnya kapitalisme dan imperialisme yang berhasil merangsang orang untuk mencari keuntungan sendiri (K. Soetoprawiro, 2003:96).
Dalam konteks altar, Kotbah di Bukit karya Kuntowijoyo pun belum cukup untuk menyuarakan sabda Yesus. Di sini, Tungku Haram Yohan Wadu juga bisa dibilang belum cukup pula meneriakkan pesan stop bajual orang. Mengapa? Karena umat itu “kepala batu”. Ini fakta yang umum, sering ada bahasa bahwa umat “kepala batu” dan memang itu benar.
Maka, fakta ini adalah sebuah keprihatinan utama yang muncul dan lahir dalam diri sutradara. Pater Yohan melihat bahwa, di altar dan mimbar, kotbah pastor atau imam harus dibawa ke ruang yang lebih luas dengan banyak aktivitas di dalamnya, sehingga ‘pasar’ adalah ruang yang pas untuk membawa pesan dari altar dan mimbar.
Altar bukan soal Ekaristi yang hanya tidur dalam ritusnya semata, tetapi dibawa keluar. Ruang yang berada di luar ialah ‘pasar’, maka pasar menurut penulis ialah perjumpaan antara pembeli dan penjual dengan seni tawar-menawar atau sistim barter yang klasik. Namun, tidak ada intensi ‘menjual’ seni untuk mendapatkan barang. Karena, spiritualitas Evergrande lahir dalam ranah pendidikan ekstrakurikuler sekolahnya, bukan dimensi politik untuk uang, massa, dan lain sebagainya.
Hal yang perlu ditegaskan di sini ialah bahwa kegelisahan seorang pastor oleh karena fenomena Human Trafficking di Flores, NTT, dan dalam skala nasional maupun internasional, maka lahirlah naskah berjudul Tungku Haram yang dipentaskan untuk ketiga kali di Kupang. Sehingga, saya menilai bahwa pastor yang berteater adalah berbeda dan unik.
Selain Pater Yohan Wadu, SVD yang berteater, penulis menyinggung pula Romo Ino Koten, Pr. Beliau adalah Romo yang berteater atau pastor yang berteater dengan cara yang sama tetapi konsep atau ide dalam melahirkan naskah itu berbeda. Mengapa? Karena imajinasi masing-masing orang itu berbeda. Tentu saja, imajinasi sungguh-sungguh menjadi semakin mahal dan berbeda ketika dikritik.
Oleh sebab itu, Anda tidak bisa memaksakan bahwa panggung tungku semegah itu harus dibuat dari bambu supaya lebih sederhana. Atau, ketika Anda mengatakan bahwa mengapa tema tentang perdagangan orang, tetapi yang ditampilkan ialah seorang penari dengan gaya rok mini?
Apalah artinya seni teater kalau ia dimengerti secara sempit dalam pola pemikiran “rok mini” saja? Untuk dipahami secara lebih baik, Tungku Haram karya Yohan Wadu adalah model teater musikal yang menampilkan semua cabang seni di dalamnya. Jika Gitapati-nya dinilai tidak etis karena memakai gaun mini, maka kritikus itu sendiri terjebak dalam presepsi sempit tentang bahaya perdagangan orang atau isu penjualan manusia.
Untuk diingat bahwa masalah perdagangan orang adalah semacam teror yang kita ciptakan sendiri. Berawal dari altar, iman sebesar biji sesawi menjadi kerdil ketika bahasa seorang kritikus atau penikmat seni hanya dibatasi pada wilayah ‘rok mini’ saja. Maka, bisa saja terjadi di sini, kita menjual ‘bahasa’ di depan publik, supaya kita dikenal sebagai seorang yang bisa mengomentari.
Ini benar. Anda atau kita tidak disalahkan ketika sebuah pertunjukan dikritik, tetapi menjadi lebih baik jika kritikan itu berjalan dalam arus media yang normal. Facebook juga adalah media sosial online yang inse adalah ruang publik, tetapi ada banyak hal yang tidak baik terjadi di sana, maka seorang kritikus sejati harus menggunakan media yang baik dan benar, supaya pada akhirnya dia disebut sebagai kritikus yang baik.
Penulis melihat ini sebuah efek ‘pasar’ yang di dalamnya ada kecemburuan akademik dan persaingan yang tidak sehat, lalu kita menjual anak-anak kita sendiri dalam bahasa sempit seputar ‘rok mini’ atau seputar presepsi kita yang sempit saja tanpa melihat substansi dari dialog-dialog di dalam tubuh teater itu sendiri. Kita mengkerdilkan pola pikir dalam ruang publik yang dinamakan facebook, lalu mengumpat diri sendiri di depan mata publik yang membaca tanpa melihat betapa anak-anak telah berhasil membawakan pesan nilai kemanusian universal.
Saya menilai, karena ‘umat’ kepala batu, maka pastor atau imam yang berteater tidak akan pernah bosan menghasilkan karya dan mewartakan kepada umat bahwa menghasilkan teater sebesar Tungku Haram atau menulis buku sebagus yang pernah kita baca adalah sebuah ruang yang tak pernah sepi dengan kritikan.
Oleh sebab itu, dari altar ke pasar, “pastor yang berteater” telah mewartakan dosa yang kita buat sendiri (baca: umat) supaya di sana ada rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini dimulai dari diri kita sendiri sambil kita belajar bahwa mengkritik dan terus mengkritik adalah hal yang baik. Penulis melihat bahwa banyak ‘kritikus’ muncul tiba-tiba, lalu mati pun tiba-tiba. Setelah itu, ke mana kita mencari kritikus? Di facebook? Di Wattsapp? Atau di mana?*
Diterbitkan di POS KUPANG, Sabtu, 11 Agustus 2018